PERBANDINGAN PEMIKIRAN TOKOH
1. Teori Piaget
(perkembangan kognitif)
Piaget berpendapat bahwa anak membangun sendiri
pengetahuannya dari pengalamannya sendiri dengan lingkungan. Dalam pandangan
Piaget, pengetahuan datang dari tindakan, perkembangan kognitif sebagian besar
bergantung kepada seberapa jauh anak aktif memanipulasi dan aktif berinteraksi
dengan lingkungannya. Dalam hal ini
peran guru adalah sebagai fasilitator dan buku sebagai pemberi
informasi.
Piaget menjabarkan implikasi teori kognitif pada pendidikan
yaitu 1) memusatkan perhatian kepada cara berpikir atau proses mental anak,
tidak sekedar kepada hasilnya. Guru harus memahami proses yang digunakan anak
sehingga sampai pada hasil tersebut. Pengalaman – pengalaman belajar yang
sesuai dikembangkan dengan memperhatikan tahap fungsi kognitif dan jika guru
penuh perhatian terhadap pendekatan yang digunakan siswa untuk sampai pada
kesimpulan tertentu, barulah dapat dikatakan guru berada dalam posisi
memberikan pengalaman yang dimaksud, 2) mengutamakan peran siswa dalam
berinisiatif sendiri dan keterlibatan aktif dalam kegiatan belajar, 3)
memaklumi akan adanya perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan.
Teori Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan
perkembangan yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan
berbeda. Oleh karena itu guru harus melakukan upaya untuk mengatur aktivitas di
dalam kelas yang terdiri dari individu – individu ke dalam bentuk kelompok –
kelompok kecil siswa daripada aktivitas dalam bentuk klasikal, 4) mengutamakan
peran siswa untuk saling berinteraksi. Menurut Piaget, pertukaran gagasan –
gagasan tidak dapat dihindari untuk perkembangan penalaran. Walaupun penalaran
tidak dapat diajarkan secara langsung, perkembangannya dapat disimulasi.
Tahap-tahap perkembangan kognitif
Jean piaget membagi tahapan perkembangan menjadi 4 bagian.
Dimana masing-masing tahapan dicirikan oleh struktur kognitif yang mempengaruhi
semua pemikiran anak, masing-masing tahap mewakili pemahaman sang anak terhadap
realitas pada saat itu. Keempat tahapan tersebut adalah sebagai berikut:
Tahap
sensorimotor: dari lahir hingga 2 tahun (anak mengalami dunianya melalui gerak
dan inderanya serta mempelajari permanensi objek)
Tahap
pra-operasional: dari 2 hingga 7 tahun (mulai memiliki kecakapan motorik)
Pada tahapan ini anak belajar menggunakan dan
mempresentasikan objek dengan gambaran dan kata-kata. Oleh sebab itu, kemampuan
indra sangat menonjol. Pemikirannya masih bersifat egosentris sehingga anak
kesulitan untuk melihat dari sudut orang lain.
Tahap operasional
konkret: dari 7 hingga 11 tahun (anak mulai berpikir secara logis tentang
kejadian-kejadian konkret)
Tahap operasional
formal: setelah usia 11 tahun (perkembangan penalaran abstrak).
2. Kohlberg
(perkembanngan moral)
Kohlberg berpandangan bahwa penalaran moral, yang merupakan
dasar dari perilaku etis, mempunyai enam tahapan perkembangan yang dapat
teridentifikasi. Ia mengikuti perkembangan dari keputusan moral seiring
penambahan usia yang semula diteliti Piaget, yang menyatakan bahwa logika dan
moralitas berkembang melalui tahapan-tahapan konstruktif.
Kolhlberg mengelompokkan enam tahapan ke dalam tiga
tingkatan: pra-konvensional, konvensional, dan pasca-konvensional.
· Tingkat satu,
prakonvensional.
Ketika manusia berada dalam fase perkembangan prayuwana
mulai dari usia 4-10 tahun yang belum menganggap moral sebagai kesepakatan
tradisi sosial.Yang man dimasa ini anak masih belum menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial.
Tahap 1. Orientasi kepatuhan dan hukuman.
Adalah penalaran moral yang yang didasarkan atas hukuman dan
anak-anak taat karena orang-orang dewasa menuntut mereka untuk taat. Dengan
kata lain sangat memperhatikan ketaatan dan hukum. Dalam konsep moral menurut
Kohlberg ini anak menentukan keburukan perilaku berdasarkan tingkat hukuman
akibat keburukan tersebut. Sedangkan perilaku baik akan dihubungkan dengan
penghindaran dari hukuman. Tahap ke-2, memperhatikan kepuasan kebutuhan .
Yang bermakna perilaku baik dihubungkan dengan pemuasan
keinginan dan kebutuhan sendiri tanpa mempertimbangkan kebutuhan orang lain.
· Tingkat dua,
konvensional
Yaitu ketika manusia menjelang dan mulai memasuki fase
perkembangan yuwana pada usia 10-13 tahun yang sudah menganggap moral sebagai
kesepakatan tradisi sosial.
Tahap ke-3, anak dan remaja berperilaku sesuai aturan dan
patokan moral agar dapat memperoleh persetujuan orang dewasa bukan untuk
menghindari hukuman.
Pada tahap 3 ini disebut juga dengan Norma-Norma
Interpernasional ialah : dimana seseorang menghargai kebenaran, keperdulian,
dan kesetiaan kepada orang lain sebagai landasan pertimbangan-pertimbangan
moral. Anak-anak sering mengadopsi standar-standar moral orang tuanya sambil
mengharapkan dihargai oleh orang tuanya sebagi seorang anak yang baik.
Tahap 4. Memperhatikan Hukum dan Peraturan.
Anak dan remaja memiliki sikap yang pasti terhadap wewenang
dan aturan.
hukum harus ditaati oleh semua orang.
· Tingkat tiga,
pascakonvensional
ketika manusia telah memasuki fase perkembangan yuwana dan
pascayuwana dari mulai usia 13 tahun ke atas yang memandang moral lebih dari
sekadar kesepakatan tradisi sosial. Dalam artian disini mematuhi peraturan yang
tanpa syarat dan moral itu sendiri adalah nilai yang harus dipakai dalam segala
situasi.
Tahap 5 memperhatikan hak perseorangan yaitu: dalam dunia
pendidikan itu lebih baiknya adalah remaja dan dewasa mengartikan perilaku baik
dengan hak pribadi sesuai dengan aturan ddan patokan sosial.
tahap 6, memperhatikan prinsip-prinsip etika. Keputusan
mengenai perilaku-perilaku sosial berdasarkan atas prinsip-prinsip moral,
pribadi yang bersumber dari hukum universal yang selaras dengan kebaikan umum
dan kepentingan orang lain.
Keyakinan terhadap moral pribadi dan nilai-nilai tetap
melekat meskipun sewaktu-waktu berlawanan dengan hukum yang dibuat untuk
menetapkan aturan sosial. Contoh : Seorang suami yang tidak punya uang boleh
jadi akan mencuri obat untuk menyelamatkan nyawa istrinya dengan keyakinan
bahwa melestarikan kehidupan manusia merupakan kewajiban moral yang lebih tinggi
daripada mencuri itu sendiri.
3. VIGOTSKY
(teori belajar)
Tokoh
kontruktivis lain adalah Vygotsky. Sumbangan penting teori Vygotsky adalah
penekanan pada hakekatnya pembelajaran sosiokultural. Inti teori Vygotsky
adalah menekankan interaksi antara aspek “internal” dan “eksternal” dari
pebelajaran dan penekanannya pada lingkungan sosial pebelajaran. Menurut teori
Vygotsky, fungsi kognitif berasal dari interaksi sosial masing – masing individu dalam konsep budaya. Vygotsky juga
yakin bahwa pembelajaran terjadi saat siswa bekerja menangani tugas – tugas
yang belum dipelajari namun tugas- tugas itu berada dalam “zone of proximal
development” mereka. Zone of proximal development adalah jarak antara tingkat
perkembangan sesungguhnya yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah
secara mandiri dan tingkat kemampuan
perkembangan potensial yang ditunjukkan dalam kemampuan pemecahan masalah di
bawah bimbingan orang dewasa atau teman sebaya yang lebih mampu.
Teori Vygotsky yang lain adalah “scaffolding“. Scaffolding
adalah memberikan kepada seseorang anak sejumlah besar bantuan selama tahap –
tahap awal pembelajaran dan kemudian mengurangi bantuan tersebut dan memberikan
kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah ia mampu mengerjakan sendiri. Bantuan yang diberikan guru
dapat berupa petunjuk, peringatan, dorongan menguraikan masalah ke dalam bentuk
lain yang memungkinkan siswa dapat mandiri.
Vygotsky menjabarkan implikasi utama teori pembelajarannya
yaitu 1) menghendaki setting kelas kooperatif, sehingga siswa dapat saling
berinteraksi dan saling memunculkan strategi – strategi pemecahan masalah yang
efektif dalam masing – masing zone of proximal development mereka; 2) Pendekatan Vygotsky dalam
pembelajaran menekankan scaffolding. Jadi teori belajar Vygotsky adalah salah
satu teori belajar sosial sehingga sangat sesuai dengan model pembelajaran
kooperatif karena dalam model pembelajaran kooperatif terjadi interaktif sosial
yaitu interaksi antara siswa dengan siswa dan antara siswa dengan guru dalam
usaha menemukan konsep – konsep dan pemecahan masalah.
4. Ericson.
Erik Erikson (1902-1994) mengatakan bahwa terdapat delapan
tahap perkembangan terbentang ketika kita melampaui siklus kehidupan.
Masing-masing tahap terdiri dari tugas perkembangan yang khas dan mengedepankan
individu dengan suatu krisis yang harus dihadapi. Bagi Erikson, krisis ini
bukanlah suatu bencana, tetapi suatu titik balik peningkatan kerentanan dan
peningkatan potensi.
Semakin berhasil individu mengatasi krisis, akan semakin
sehat perkembangan mereka. Berikut adalah beberapa tahap krisis perkembangan
menurut Erik Erikson:
Kepercayaan dan ketidakpercayaan (trust versus mistrust)
Adalah suatu tahap psikososial pertama yang dialami dalam
tahun pertama kehidupan. Suatu rasa percaya menuntut perasaan nyaman secara
fisik dan sejumlah kecil ketakutan serta kekuatiran akan masa depan.
Kepercayaan pada masa bayi menentukan harapan bahwa dunia akan menjadi tempat
tinggal yang baik dan menyenangkan.
Otonomi dengan rasa malu dan keragu-raguan (autonomy versus
shame and doubt)
Adalah tahap perkembangan kedua yang berlangsung pada masa
bayi dan baru mulai berjalan (1-3 tahun). Setelah memperoleh rasa percaya
kepada pengasuh mereka, bayi mulai menemukan bahwa perilaku mereka adalah atas
kehendaknya. Mereka menyadari kemauan mereka dengan rasa mandiri dan otonomi
mereka. Bila bayi cenderung dibatasi maka mereka akan cenderung mengembangkan
rasa malu dan keragu-raguan.
Prakarsa dan rasa bersalah (initiative versus guilt)
Merupakan tahap ketiga yang berlangsung selama tahun-tahun
sekolah. Ketika mereka masuk dunia sekolah mereka lebih tertantang dibanding
ketika masih bayi. Anak-anak diharapkan aktif untuk menghadapi tantangan ini
dengan rasa tanggung jawab atas perilaku mereka, mainan mereka, dan hewan
peliharaan mereka. Anak-anak bertanggung jawab meningkatkan prakarsa. Namun,
perasaan bersalah dapat muncul, bila anak tidak diberi kepercayaan dan dibuat
mereka sangat cemas.
Tekun dan rendah diri (industry versus inferiority)
Berlangsung selama tahun-tahun sekolah dasar. Tidak ada
masalah lain yang lebih antusias dari pada akhir periode masa awal anak-anak
yang penuh imajinasi. Ketika anak-anak memasuki tahun sekolah dasar, mereka
mengarahkan energi mereka pada penguasaan pengetahuan dan keterampilan
intelektual. Yang berbahaya pada tahap ini adalah perasaan tidak kompeten dan
tidak produktif.
Identitas dan kebingungan identitas (identity versus
identity confusion)
Adalah tahap kelima yang dialami individu selama tahun-tahun
masa remaja. Pada tahap ini mereka dihadapkan oleh pencarian siapa mereka,
bagaimana mereka nanti, dan ke mana mereka akan menuju masa depannya. Satu
dimensi yang penting adalah penjajakan pilihan-pilihan alternatif terhadap
peran. Penjajakan karir merupakan hal penting. Orangtua harus mengijinkan anak
remaja menjajaki banyak peran dan berbagai jalan. Jika anak menjajaki berbagai
peran dan menemukan peran positif maka ia akan mencapai identitas yang positif.
Jika orangtua menolak identitas remaja sedangkan remaja tidak mengetahui banyak
peran dan juga tidak dijelaskan tentang jalan masa depan yang positif maka ia
akan mengalami kebingungan identitas.
Keintiman dan keterkucilan (intimacy versus isolation)
Tahap keenam yang dialami pada masa-masa awal dewasa. Pada
masa ini individu dihadapi tugas perkembangan pembentukan relasi intim dengan
orang lain. Saat anak muda membentuk persahabatan yang sehat dan relasi akrab
yang intim dengan orang lain, keintiman akan dicapai, kalau tidak, isolasi akan
terjadi.
Bangkit dan berhenti (generality versus stagnation)
Tahap ketujuh perkembangan yang dialami pada masa
pertengahan dewasa. Persoalan utama adalah membantu generasi muda mengembangkan
dan mengarahkan kehidupan yang berguna (generality). Perasaan belum melakukan
sesuatu untuk menolong generasi berikutnya adalah stagnation
Integritas dan kekecewaan (integrity versus despair)
Tahap kedelapan yang dialami pada masa dewasa akhir. Pada
tahun terakhir kehidupan, kita menoleh ke belakang dan mengevaluasi apa yang
telah kita lakukan selama hidup. Jika ia telah melakukan sesuatu yang baik
dalam kehidupan lalu maka integritas tercapai. Sebaliknya, jika ia menganggap
selama kehidupan lalu dengan cara negatif maka akan cenderung merasa bersalah
dan kecewa.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar